Baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 atau yang lazim dikenal PP pengetatan remisi koruptor. Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022 yang berisi bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. Menkumham mensyaratkan bagi napi koruptor, syarat remisi koruptor adalah wajib sudah membayar denda dan uang pengganti. Dan ada 23 narapidana koruptor kini bebas bersyarat. Masa hukuman para koruptor itu menjadi lebih pendek karena dipotong remisi (pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan). DetikNews. (Rabu, 09-September-2022).
Bukan hanya itu saja, napi korupsi atau koruptor ternyata masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Hal itu dimungkinkan karena dari regulasi yang ada, termasuk UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg. Pada ketentuan Pasal 240 ayat 1 huruf g, hanya mengatur seorang mantan napi yang hendak mendaftarkan diri, wajib mengungkapkan ke publik kalau dirinya pernah dipidana serta telah selesai menjalani hukumannya. Sementara itu, Pasal 45A ayat (2) PKPU Nomor 31 Tahun 2018 memberikan penjelasan lebih lanjut soal syarat bagi eks koruptor bila hendak maju sebagai caleg pada pemilu. Syarat tersebut yakni memberikan lampiran keterangan soal statusnya.. Beritasatu.(Minggu,28 agustus 2022).
Penegakan hukum terhadap pelaku korupsi masih sangat lemah. Pasalnya pemerintah mudah memberikan kebebasan bersyarat terhadap para koruptor tanpa alasan yang logis. Dengan dalih bahwa hal tersebut sudah sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Mereka juga tidak kehilangan hak mencalonkan diri untuk ikut dalam kontestasi politik. Ini sangat mengherankan. Menjadi orang yang sudah merugikan Negara, penghianat rakyat tetapi nyatanya diberi hak istimewa. Sungguh, hal ini mengisyaratkan bahwa sistem demokrasi sangat ramah terhadap para koruptor. Serta menjadi bukti bahwa sistem demokrasi kapitalisme gagal membentuk pemimpin yang punya kapasitas layak memimpin. Namun, ini merupakan sesuatu hal yang wajar terjadi didalam Negara yang menerapkan sistem sekuler demokrasi, pasalnya memisahkan antara agama dengan kehidupan menjadikan politik jauh dari agama. Orientasi seorang pejabat dalam sistem ini tidak lagi menjadikan kedudukan dan kekuasaan merupakan amanah dari Allah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Akan tetapi, melalui kedudukan dan kekuasaan hanyalah digunakan untuk meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Pemimpin yang duduk dibangku kekuasaan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan, minim perhatian terhadap rakyat.
Korupsi terjadi dikarenakan ongkos politik dalam demokrasi sangatlah mahal. Pasalnya, untuk membeli hati masyarakat dan berbagai iklan akan membutuhkan biaya. Dan rata-rata mereka didukung oleh para pemilik modal yang berharap setelah menjabat akan mendapatkan keuntungan. Maka tak heran sistem politik demokrasi cenderung membuka ruang terhadap penyalahgunaan kekuasaan salah satunya melakukan tindakan korupsi. Tak ada hukum yang menjerakan napi, malah mereka yang diperlakukan istimewa dengan hak remisi dan hak ikut berpolitik.
Kondisi ini sungguh jelas berbeda dengan sistem Islam, Islam akan membentuk pemimpin yang layak dan amanah terhadap rakyatnya karena keimanan kepada Allah SWT sebab ia akan dimintai pertanggung jawaban diakhirat kelak. Serta memberikan hukuman yang setimpal bagi koruptor berdasarkan hukum sanksi dalam Islam. Bahkan biaya politik dalam sistem Islam murah, para pejabat Negara dipilih langsung oleh khalifah.
Dalam Islam menunjukkan sejumlah cara untuk mencegah hingga mengatasi korupsi yakni dengan melakukan sistem penggajian yang layak. Memang gaji besar tidak menjamin seseorang tidak melakukan korupsi, akan tetapi rendahnya gaji tidak menjadi pemicu untuk melakukan tidakan korupsi. Larangan menerima suap atau hadiah yang diberikan seseorang terhadap pemerintah, karena berpengaruh buruk terhadap mental pemerintah. Apalagi dalam hal peradilan, maka akan cenderung memenangkan pihak pemberi hadiah. Melakukan perhitungan kekayaan meskipun tidak semuanya harta yang diperoleh dari aktivitas korupsi.
Sistem Islam tak mentolerir pelanggaran yang dilakukan pejabat Negara dengan menegakkan hukum zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa) bagi pejabat. Sehingga dipastikan tidak akan ada pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya secara berulang atau diteladani keburukannya. Masyarakat justru akan berpikir ribuan kali untuk menjadi pelaku kejahatan yang serupa. Dan Rasulullah sudah memberikan contoh kepemimpinan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Salah satunya, yaitu pemimpin yang mempunyai sikap amanah.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah SAW berkata, “Hendaklah kamu berlaku jujur karena kejujuran menuntunmu pada kebenaran, dan kebenaran menuntunmu ke surga. Dan senantiasa seseorang berlaku jujur dan selalu jujur sehingga dia tercatat di sisi Allah SWT sebagai orang yang jujur. Dan hindarilah olehmu berlaku dusta karena kedustaan menuntunmu pada kejahatan, dan kejahatan menuntunmu ke neraka. Dan seseorang senantiasa berlaku dusta dan selalu dusta sehingga dia tercatat di sisi Allah SWT sebagai pendusta” (HR. Muslim). Begitulah Islam, aturannya tegas,tak menolerir segala pelanggaran. Tak seperti politik dalam demokrasi yang ramah terhadap para pelaku korupsi. Maka, pencegahan dan pemberantasan hanya akan berhasil dalam sistem Islam yakni Daulah Islamiyah. Tidakkah aturan Islam yang layak kita genggam? Wallahu’lam Bissawab.
(Penulis Atika Nasution adalah Alumni Mahasiswi UISU Medan)