Medan – Air limbah domestik yang bersumber dari usaha kegiatan manusia yang berasal dari pemukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen maupun asrama. Pada umumnya, tempat-tempat ini belum memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sendiri, sehingga diperlukan Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik (SPALD), demikian dikatakan praktisi Lingkungan Umar YR Lubis, Jumat (24/2/2023) di Medan.
Menurut Umar, SPALD yang merupakan serangkaian kegiatan pengelolaan air limbah domestik dalam satu kesatuan dengan sarana dan prasarana pengelolaan air limbah domestik. SPALD ini terbagi dua yaitu SPALD Terpusat (SPALD-T) dan SPALD Setempat ( SPALD-S). Air limbah domestik digolongkan kepada 2 bagian yaitu Black Water (kakus) dan Grey Water (non kakus). Dan jika tak diolah dengan tepat akan dapat menimbulkan biogas yang akan berdampak kepada perubahan iklim.
“Beberapa tujuan dari SPALD adalah menjaga sumber air agar tidak tercemar, dan pemanfaatan hasil pengelolaan air limbah domestik sebagaimana telah dituangkan di dalam Permen PUPR 04/2017,” kata Umar.
Maka dari itu, salah satu cara untuk menjaga kualitas Sumber Daya Air adalah dengan melakukan SPALD, baik skala kecil (komunal, kawasan /setempat) atau pun skala besar (terpusat).
“Jadi untuk melindungi sumber daya air, bukan hanya industri saja yang harus mengolah air limbahnya, masyarakat sendiri juga harus mengolahnya,” kata pria gondrong ini.
Jika SPALD ini dilakukan, maka krisis air bersih didaerah perkotaan atau daerah yang sulit air maka air hasil olahan dari SPALD ini akan dapat dimanfaatkan kembali, karena airnya sudah memenuhi baku mutu air limbah domestik sesuai dengan Permen LHK No. 68/2016, tinggal dipasang water treatment diujungnya, air tersebut dapat digunakan kembali.
“SPALD ini yang salah satunya untuk menjaga sumber daya air, dimana didalam UU No. 17/2019 tentang sumber daya air, didalam UU itu ada sangsi pidana bagi yang melakukan perusakan/pencemaran terhadap sumber daya air,” jelasnya.
Umar menilai, jika pencemaran terjadi maka untuk mendapatkan air bersih akan sulit, untuk itu peranan pengawas sangat perlukan.
“Selain itu, bagi penerima manfaat SPALD ini, maka septik tank nya tidak akan pernah penuh, karena semua tinja/feses akan terurai menjadi lumpur, dan terkumpul di bak pra pengolahan maupun di bioreaktor utama. Jadi, jika dikenakan retribusi, maka retribusi tersebut adalah retribusi perawatan SPALD.” jelas Umar.
Disinggung mengenai dampaknya IPAL komunal yang tidak berfungsi lagi, dia menyebutkan bahwa mangkraknya IPAL komunal itu dikarenakan tidak adanya perawatan, dan tidak ada penanggung jawabnya, jika IPAL komunal itu dikelola oleh masyarakat, apakah kelompok masyarakat tersebut ada dilatih untuk perawatannya, kemudian dinas apa yang bertanggung jawab untuk itu.
“Jadi harus jelas, agar kita tau siapa penanggung jawabnya, jadi bisa tuntas masalahnya,” tambahnya.
Didalam aplikasinya, SPALD ini tidak jauh beda dengan IPAL, karena konsep dan prinsipnya sama, jadi bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.
Umar berharap kepada seluruh pemerintah daerah agar dapat melakukan SPALD ini berbasis kelurahan/desa dan atau lingkungan, sehingga fungsi parit/selokan itu hanyalah untuk air hujan, bukan sebagai comberan bersama di masyarakat.
“Selain SPALD sebagai sarana menjaga sumber daya air, juga sebagai Sumber Air Alternatif bagi masyarakat,” ujar Umar.(cu)