FORUM JAKARTA | Hukum Pidana 4.0 merupakan wujud nyata dari Teori Hukum Konvergensi sebagai penyatuan (convergence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum terhadap hubungan manusia dan masyarakat di Abad Informasi Digital, baik dalam tataran nasional, regional maupun tataran internasional. Hukum Pidana 4.0 sebagai Hukum Pidana yang meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta proses-proses yang mewujudkan Hukum Pidana ke dalam kenyataan kehidupan Masyarakat 5.0 dan Revolusi Industri 4.0 sebagai peradaban digital global memiliki relevansi substansial dan fundamental dengan konseptual Keadilan Restoratif atau Restorative Justice. Di dalam sistem Hukum Indonesia, norma dasar negara atau state fundamental norm adalah Pancasila, oleh karenanya penerapan keadilan restoratif diambil dari nilai-nilai hukum Pancasila yang telah hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia.
Keadilan adalah tujuan utama dari hukum, tetapi bukan berarti tujuan hukum yang lain yaitu kepastian dan kemanfaatan terpinggirkan. Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka Hati Nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan. Hati Nurani bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus. Ketika kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi dengan Hati Nurani telah tercapai secara bersamaan, maka keadilan hukum akan terwujud secara paripurna. Terdapat 3 (tiga) pendekatan bagaimana masing-masing tujuan hukum berada dalam bingkai Hati Nurani, yaitu:
Pertama, Keadilan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini sebagaimana pandangan dari seorang Hakim Agung di Inggris, Lord Denning yang mengatakan “keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal. Bagaimana seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil penalaran tetapi produk nurani.” Hati Nurani yang melandasi tujuan keadilan hukum ini adalah sebuah postulat bahwa tidak akan tercapainya keadilan hukum yang hakiki tanpa penggunaan Hati Nurani karena pada hakikatnya keberadaan Hati Nurani ada di dalam setiap moral dan sumber dari hukum itu sendiri adalah moral.
Kedua, Kemanfaatan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini selaras dengan teori kemanfaatan yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf yang menganut utility teori dan meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum. “Keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat hakiki yaitu kebahagian mayoritas rakyat. Kebahagian yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness of the greatest number). Hati Nurani yang melandasi tujuan kemanfaatan hukum ini adalah manakala rasa keadilan mayoritas masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek kemanusiaan, seperti pencurian dengan nominal rendah atau penganiayaan ringan yang nilai kerugiannya minim, untuk tidak dilakukan proses hukum hingga di pengadilan.
Ketiga, Kepastian Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini beranjak dari pandangan Hans Kelsen, seorang filsuf positivisme yang mengatakan jika “hukum adalah sistem norma yang menekankan aspek ‘seharusnya’ dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.” Hati Nurani yang melandasi tujuan kepastian hukum ini adalah ketika individu telah secara pasti melanggar peraturan dan negara memiliki kewenangan untuk menghukumnya, namun negara melalui Jaksa menggunakan kewenangannya untuk tidak menghukumnya melalui diskresi penuntutan (prosecutorial discretion). Kewenangan Jaksa untuk tidak melakukan penuntutan ini bukan tanpa dasar hukum, melainkan berdasarkan pada kepastian hukum, yang secara legitimasi undang-undang telah memberikan kewenangan untuk itu.