FORUM MEDAN | Ketua Gerakan Rakyat Anti Diskriminasi (GARANSI) Sumatera Utara, Hambali Limbong menilai 20 anggota DPRD Pakpak Bharat terlibat persekongkolan zholim dengan Bupati Pakpak Bharat dalam menghabiskan uang rakyat melalui pengesahan APBD 2024. Ia menduga APBD sudah dikapling-kapling menjadi bancakan bersama legislatif dan eksekutif dengan berbagai dalih kegiatan.
“Saya kira anggota DPRD Pakpak Bharat saat ini sudah tidak punya marwah. Sudah hilang kepekaannya terhadap rakyat. Sungguh sangat disesalkan,” ucap Hambali Limbong kepada wartawan, Sabtu (9/12/2023).
Hambali Limbong menyampaikan hal itu terkait pengesahan APBD 2024 Pemkab Pakpak Bharat yang dinilainya ada kejanggalan. Soalnya, paripurna pengesahan APBD menjadi Perda tersebut, tidak dihadiri oleh Bupati Pakpak bharat. Padahal, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan menegaskan bahwa Bupati wajib hadir dalam pengesahan APBD menjadi Perda. “Ini bukti bahwa DPRD Pakpak Bharat sekarang ini sudah tidak punya marwah. Terkesan ‘melacurkan diri’. Dan, sepertinya anggota DPRD yang membutuhkan APBD hingga tetap mengesahkannya meski tidak dihadiri bupati sebagai syarat wajib sesuai ketentuan,” tutur aktivis antikorupsi tersebut.
Hambali Limbong pun memaparkan ketentuan yang mewajibkan bupati harus hadir dalam paripurna DPRD pengambilan keputusan Ranperda. Ketentuan itu termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang pedoman penyusunan tata tertib DPRD, khususnya Pasal 93 ayat 4 yang berbunyi rapat paripurna dalam rangka pengambilan keputusan Rancangan Perda wajib dihadiri oleh kepala daerah. Selain itu, dalam Tata Tertib DPRD Pakpak Bharat Nomor 1 Tahun 2018 Pasal 120 ayat 4 juga disebutkan rapat paripurna dalam rangka pengambilan keputusan rancangan Perda wajib dihadiri bupati.
“Mengapa paripurna pengambilan keputusan Ranperda wajib dihadiri bupati? Karena setiap fraksi punya saran dan catatan-catatan terkait Ranperda sebagai bahan masukan yang mesti disikapi bupati. Bagaimana kita tahu sikapnya kalau dia tidak hadir. Atau bupati diduga menganggap saran dan catatan dari fraksi-fraksi DPRD itu tidak berguna. Ketidakhadiran bupati itu menurut saya sebagai bentuk pelecehan terhadap lembaga DPRD,” ujar Limbong menduga.
Limbong curiga pengesahan Ranperda APBD itu bukan murni untuk kepentingan pembangunan Pakpak Bharat. Ia menduga ada konspirasi zholim untuk kepentingan oknum di DPRD yang kembali turut serta dalam kontestasi Pemilu Legislatif pada 14 Februari 2024 mendatang. “Memang dalam pembahasan RAPBD ada pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD dengan dalih aspirasi masyarakat. Yang kita pertanyakan, aspirasi masyarakat yang mana? Faktanya, banyak jalan sebagai penunjang trasnportasi masyarakat di Pakpak Bharat ini bagai kubangan jika di musim hujan. Janganlah mengatasnamakan masyarakat kalau hanya untuk kepentingan kelompok atau segelintir orang saja. Tak elok menjual-jual mengatasnamakan aspirasi masyarakat, kecuali memang untuk kepentingan masyarakat berupa fasilitas umum yang bermanfaat untuk semua orang,” tukasnya.
Tokoh muda pejuang kaum lemah ini pun membandingkan manfaat perbaikan jalan dengan pembelian mobil dinas 8 camat yang tertuang dalam APBD Pakpak Bharat. “Jalan-jalan yang mulus tentu sangat bermanfaat untuk semua masyarakat. Sedangkan pembelian mobil dinas camat, hanya untuk kepentingan satu orang saja. Dan, mobil yang digunakan sang camat itu akan cepat rusak bila jalan-jalannya berlobang-lobang. Anggota DPRD dan Bupati Pakpak Bharat seharusnya melihat skala prioritas, lebih penting membangun jalan ketimbang membeli mobil dinas camat,” tegas Hambali Limbong.
Dalam benak Limbong, ada kecurigaan terhadap oknum-oknum di DPRD Pakpak Bharat yang kompak menyetujui dan mengesahkan Ranperda APBD menjadi Perda meski tidak dihadiri Bupati . “Bisa saja karena sudah mau habis masa bakti sebagai anggota dewan, maka yang dipikirkan adalah bagaimana terpilih kembali pada Pileg 2024 mendatang. Tentu butuh modal. Kita curiga pengesahan Ranperda itu diduga untuk mengejar fee kegiatan proyek atau pesangon masa bhakti. Sebab, pesangon dari kacamata anggota dewan sangatlah penting. Selama lima tahun duduk di dewan, bagi mereka yang terpilih kembali tidak mendapat pesangon tidak masalah. Tapi bagi mereka yang nantinya tidak terpilih lagi, pesangon adalah kata akhir dari sebuah pengabdian panjang,” ujarnya.
Hambali Limbong menilai bahwa ‘nafsu besar’ itu tidak diikuti dengan prestasi politik yang telah dicatatkan oleh DPRD. “Catatan perihal kinerja dan kerja DPRD Pakpak Bharat menunjukkan rapor merah dan banyaknya kegagapan dan kegagalan dalam melaksanakan fungsinya sebagai wakil rakyat secara maksimal,” tandasnya. (zas)