Uji UU Kejaksaan: Minta Hapus Izin Jaksa Agung dalam Pemeriksaan Jaksa

lt677fa33cbcc94

FORUM JAKARTA | Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang perdana pengujian materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) beragendakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada Rabu (23/04/2025) pukul 13.30 WIB. Permohonan tersebut teregistrasi dengan Nomor Perkara 26/PUU-XXIII/2025 dan diajukan oleh Stepanus Febyan Babaro berprofesi sebagai karyawan swasta serta Henemia Hotmauli Purba sebagai mahasiswa.

Pemohon menilai bahwa ketentuan yang mewajibkan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa harus dengan izin Jaksa Agung sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Dalam praktiknya, aturan ini bisa digunakan untuk melindungi jaksa yang terlibat tindak pidana dari proses hukum dengan alasan yang subjektif, seperti tidak cukup bukti atau tidak ada urgensi. Contoh nyata adalah kasus dugaan pelecehan oleh seorang jaksa di Kejati Kalimantan Barat yang hingga kini belum ada kejelasan hukumnya, mencerminkan potensi hambatan dalam menegakkan hukum terhadap aparat penegak hukum.

Ketentuan tersebut juga membuka peluang penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Agung, khususnya jika jaksa yang diperiksa memiliki kedekatan personal atau kepentingan strategis dengan pimpinan. Izin yang diberikan atau ditolak berdasarkan pertimbangan non-hukum berpotensi menciptakan impunitas dalam tubuh Kejaksaan, di mana jaksa tertentu merasa kebal hukum. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip independensi penegakan hukum yang seharusnya bebas dari intervensi pihak berkepentingan.

Lebih lanjut, kewenangan ini juga menimbulkan ketimpangan antar-lembaga penegak hukum. Kepolisian atau KPK tidak memiliki mekanisme serupa dan bisa diperiksa secara langsung, sementara pemeriksaan terhadap jaksa harus melewati izin Jaksa Agung. Akibatnya, proses penanganan kasus yang melibatkan jaksa bisa terhambat dan menimbulkan gesekan antar-lembaga. Bahkan, potensi nepotisme pun terbuka lebar, karena jaksa yang dekat dengan pimpinan bisa mendapat perlakuan istimewa, sementara yang tidak dekat lebih mudah diperiksa.

Selain itu, keberadaan izin ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Tidak ada batas waktu yang jelas mengenai lamanya izin diproses, sehingga memperlambat proses hukum dalam kasus yang membutuhkan tindakan cepat. Ini dapat dimanfaatkan oleh oknum jaksa untuk menghindari proses hukum, misalnya dengan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Di sisi lain, kewenangan tersebut juga bisa menjadi alat tawar-menawar politik, yang semakin merusak independensi dan objektivitas penegakan hukum.

Akhirnya, Pemohon berpendapat bahwa ketentuan izin dari Jaksa Agung bertentangan dengan prinsip equality before the law, asas impartiality, fair trial, dan due process of law. Ketentuan ini menciptakan perlakuan istimewa kepada jaksa, yang seharusnya diperlakukan sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa “atas izin Jaksa Agung” dalam Pasal 8 ayat (5) UU No. 11 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (rel-MK)