FORUM TEBING TINGGI | Drama tata kelola pemerintahan di Kota Tebing Tinggi kembali mempertontonkan buruknya wajah birokrasi. Kali ini, kasus penunjukan Syah Irwan sebagai Penjabat (PJ) Sekda, berselang sepekan dilantik pula sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Masyarakat (DP3APM), menjadi bukti “menelanjangi” aturan main administrasi pemerintahan. Sepertinya dengan sadar sejumlah oknum di Pemko Tebing Tinggi menginjak-injak regulasi yang ada.
Secara hukum administrasi, jabatan PJ Sekda yang melekat pada Syah Irwan harus gugur secara otomatis ketika ia dilantik menjadi Kepala Dinas DP3APM. Sebab, dasar penunjukan PJ Sekda awalnya karena posisinya sebagai Staf Ahli Wali Kota Bidang Ekbang.
Begitu berpindah jabatan menjadi Kepala Dinas, maka legal standing sebagai PJ Sekda runtuh dengan sendirinya. Namun apa yang terjadi di Tebing Tinggi justru sebaliknya: Syah Irwan merangkap jabatan tanpa legitimasi, praktik yang jelas-jelas menyalahi aturan.
Menurut sumber Forum, regulasi yang dilanggar antara lain UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan Sekda merupakan jabatan strategis dan pengisian PJ Sekda harus sesuai mekanisme, tidak boleh rangkap dengan jabatan lain.
Selain itu ada juga, PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (jo. PP No. 17 Tahun 2020) – jabatan struktural memiliki syarat dan larangan rangkap jabatan, kecuali diatur lain oleh peraturan khusus. Demikian juga seperti yang diatur dalam Permendagri No. 91 Tahun 2019 tentang Penunjukan PJ Sekda.
Kasus ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan indikasi maladministrasi serius. Pemerintah Kota Tebing Tinggi, patut diduga sedang mempertontonkan kedunguan pemahaman administrasi. Bagaimana mungkin seorang pejabat yang sudah berganti jabatan tetap dipertahankan sebagai PJ Sekda. Apakah aturan hanya sekadar hiasan etalase birokrasi?.
DPRD Kota Tebing Tinggi tidak boleh berdiam diri. Fungsi pengawasan yang melekat di pundak para wakil rakyat harus dijalankan dengan tegas. Diamnya DPRD hanya akan memperkuat dugaan bahwa praktik maladministrasi ini sudah menjadi “mainstream” di tubuh birokrasi Tebing Tinggi.
Sejak Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dibubarkan, maka pengawasan etika dan tata kelola birokrasi kini bisa diarahkan ke Ombudsman RI melalui laporan dugaan maladministrasi. Tak berhenti di situ, Aparat Penegak Hukum (APH) pun wajib membuka mata. Sebab, penyalahgunaan jabatan, pelanggaran administrasi, dan dugaan penyalahgunaan wewenang dapat menyeret pihak-pihak terkait ke ranah pidana.
Kasus Syah Irwan ini hanyalah satu contoh kecil dari carut-marut tata kelola pemerintahan di Tebing Tinggi. Bila DPRD, Ombudsman, dan APH tetap bungkam, maka pesan yang sampai ke masyarakat jelas: aturan di negeri ini bisa dilanggar sesuka hati asal punya kuasa.
Publik tidak butuh birokrat yang pandai bermain kucing-kucingan dengan regulasi. Yang dibutuhkan adalah oknum pejabat yang paham aturan, bukan yang terjebak dalam kedunguan administrasi. ( MET )







