Oleh: Suci Musada, S.M (Aktivis Muslimah)
Baru-baru ini, masyarakat kembali digegerkan oleh temuan makanan bersertifikat halal yang ternyata mengandung unsur babi. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), bekerja sama dengan BPOM, mengungkap sembilan produk pangan olahan yang mengandung porcine (enzim babi). Yang mencengangkan, tujuh dari sembilan produk tersebut telah mengantongi sertifikat halal.
Produk-produk tersebut sebagian besar merupakan makanan impor dari Filipina dan Tiongkok, seperti Corniche Fluffy Jelly, ChompChomp Mini Marshmallow, dan Larbee-TYL Marshmallow Isi Selai Vanila. Meski produsen sudah diberi surat peringatan dan menunjukkan itikad baik, kasus ini membuka tabir lemahnya sistem sertifikasi halal yang seharusnya menjadi benteng utama bagi konsumen Muslim di negeri mayoritas Muslim ini. (www.cnnindonesia.com, 21/04/2025)
Kasus seperti ini bukan kali pertama. Bahkan, ia mencerminkan pola yang berulang, pengabaian terhadap standar halal oleh pelaku industri, serta lemahnya pengawasan negara. Ironis, di negeri yang mengklaim diri sebagai pusat industri halal dunia, justru makanan haram bisa lolos dengan label “halal”. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan kegagalan sistemik.
Akar persoalan ini bukan hanya pada lemahnya pengawasan atau permainan curang industri, tetapi terletak pada sistem sekuler kapitalis yang memisahkan agama dari tata kelola kehidupan, termasuk dalam urusan pangan. Dalam sistem ini, standar halal-haram bukanlah nilai yang dijaga karena ketundukan kepada Allah, melainkan sekadar label ekonomi untuk menarik konsumen Muslim. Maka tak heran, sertifikasi halal pun bisa dijadikan komoditas, dibeli demi meraup keuntungan.
Kapitalisme membentuk mentalitas rakus: selama menguntungkan, segala cara dianggap sah. Tanpa pijakan pada syariat, industri bisa semena-mena menempelkan label halal pada produk haram. Negara pun tak lebih dari regulator pasif yang bergerak hanya ketika krisis mencuat ke publik. Tak ada efek jera, tak ada keadilan substantif.
Dalam kondisi seperti ini, kaum Muslim tak bisa terus menggantungkan harapan pada negara yang tunduk pada logika kapitalisme. Negara yang sekuler tidak akan pernah benar-benar menjaga kemaslahatan umat. Sebab, ia tidak menganggap halal-haram sebagai asas kebijakan, melainkan sebagai aspek teknis administratif semata.
Islam memandang halal dan haram sebagai prinsip utama dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk pangan. Allah Swt. berfirman:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)
Dalam sistem Islam, negara tidak hanya mengawasi, tetapi menjadi pelindung akidah umat. Sistem pemerintahan Islam menerapkan syariah secara kafah, yang memastikan setiap makanan yang beredar telah terjamin kehalalannya. Negara juga memiliki mekanisme pencegahan dan penindakan, mulai dari pengawasan produksi, distribusi, hingga pemberian sanksi tegas yang memberikan efek jera bagi pelanggar.
Rasulullah saw. bersabda:
“Barang siapa yang tidak menunaikan hak Allah di muka bumi, niscaya Allah akan menjatuhkannya ke dalam kehinaan.” (h.r. Thabrani)
Kita membutuhkan sistem yang tidak hanya sekadar memberi label halal, tetapi juga menegakkan kehalalan secara substansial, dari hulu ke hilir. Sistem itu hanya mungkin terwujud dalam tata kelola berbasis syariah Islam, di bawah kepemimpinan yang menjadikan halal-haram sebagai standar hukum, bukan sekadar slogan dagang.
Hanya dengan kembali pada sistem Islam kafah, umat benar-benar bisa terlindungi, tidak hanya dari produk haram di piring-piring mereka, tetapi juga dari jebakan sistem yang menjadikan halal sebagai komoditas.
Wallahualam bissawab.
Penulis Suci Musada, S.M (Aktivis Muslimah)