DPRD Sumut: Jangan Cari Untung
FORUM MEDAN | Kewajiban untuk membayar tanah eks HGU diungkap oleh anggota DPRD Sumatera Utara dari Komisi A DPRD Sumut, M.Subandi bahwa sumber yang menentukan harga (biaya hapus buku) adalah Kementerian BUMN.
Subandi menyatakan telah beberapa kali mengajukan protes atas penetapan biaya hapusbuku lahan eks HGU PTPN yang teralu tinggi dibuat oleh Kementerian BUMN. Subandi menegaskan kebijakan Kementerian BUMN yang memungut biaya hapus buku terlalu tinggi tidak dapat dibenarkan. Kementerian BUMN diminta untuk menetapkan harga semurah-murahnya kepada masyarakat, terutama bagi Masyarakat Adat dan pensiunan PTPN II, kalau bisa Rp 1 per meter segi untuk Masyarakat Adat dan pensiunan PTPN II, Rp 10.000 per meter segi untuk masyarakat umum dan di atas itu untuk swasta lainnya.
“Seharusnya ini yang dilakukan sebagai bentuk penghargaan pemerintah kepada rakyatnya,” kata Subandi kepada wartawan Senin (24/1).
Subandi menyebut pihaknya mendengar bahwa Kementerian BUMN sedang memikirkan untuk merubah biaya hapus buku lahan eks HGU PTPN II sehingga tidak terkesan Kementerian BUMN ingin ambil untung dibalik penetapan biaya hapus buku lahan eks HGU PTPN II.
“Sekarang lagi dipikirkan untuk merubah (harga) itu, kita tunggu,” kata Subandi.
Kepala Bidang Pengadaan Tanah BPN Pemprov Sumut, A Rahim Lubis, saat dikonfirmasi, membenarkan bahwa semua yang terkait dengan nilai ganti rugi eks HGU PTPN II ditentukan oleh kementerian BUMN. “Semua itu kewenangan BUMN,” katanya.
“Kalau terkait ganti rugi aset eks HGU, semua itu kewenangan BUMN,” kata Rahim.
Menjawab apakah boleh BUMN yang merupakan institusi negara menjual tanah ke rakyat, Rahim mengatakan boleh karena hal itu telah diatur dalam Peraturan Menteri BUMN No 2 Tahun 2010.
“Mengapa tidak, penghapusbukuan itu bisa dilaksanakan kalau ada ganti rugi. Itu aturannya di Kementerian BUMN,” kata Rahim.
Menjawab soal penjualan lahan kantor Gubernur Sumut dengan harga murah Rp 1.000, Rahim menyatakan bahwa itu diskresi Menteri. “Artinya ada ganti rugi, walaupun nilainya Rp 1.000. Sekarang nilai itu ditetapkan berdasarkan KJPP, dulu diskresi,” kata Rahim.
Rahim menambahkan bahwa yang menentukan bahwa tanah eks HGU adalah masih aset adalah BUMN, sementara BPN hanya akan melaksanakan proses sertifikasi apabila telah ada penghapusbukuan dari BUMN, dalam hal ini PTPN II.
Koordinator Aksi Komite Rakyat Bersatu, Johan Merdeka mengatakan Kementerian BUMN tidak pantas mengutip uang ganti rugi lahan eks HGU . Menurutnya, kebijakan BUMN ini bertentangan dengan amanat UUD 1945. Sebab, lahan eks HGU seharusnya tidak perlu ada biaya ganti rugi kecuali untuk tanaman dan bangunan.
“Di sini menurut kita ada kejanggalan, karena beberapa orang pakar hukum dari USU mengatakan bahwa pembayaran ganti rugi untuk tanah adalah ilegal,” kata Johan saat dihubungi wartawan pada Kamis (20/1/2022).
Ratusan massa dari Komite Rakyat Bersatu berunjuk rasa ke kantor Gubernur Sumut, Rabu (19/1/2022), menuntut pendistribusian tanah eks HGU PTPN II. Massa meminta lahan eks HGU PTPN II seharusnya dikembalikan kepada rakyat, bukan sebaliknya dikuasai oleh sekelompok mafia tanah.
Johan mengatakan seharusnya kalau sudah eks HGU tentu sudah tidak ada lagi hak PTPN II di atas tanah tersebut. Karenanya, jikalau Kementerian BUMN mengutip biaya ganti rugi atas lahan eks HGU PTPN II merupakan tindakan yang salah.
“Salah dalam artian yang selama ini berjuang di atas lahan tersebut seharusnya digratiskan, kecuali untuk developer dan pengusaha. Itu pun harus melalui mekanisme yang ada,” kata Johan.
Guru Besar Fakultas Hukum USU, Prof OK Saidin menyatakan tidak tahu kepentingan BUMN menetapkan harga ganti rugi lahan eks HGU terlalu tinggi. OK Saidin menyebut harga ganti rugi lahan eks HGU saat ini rata-rata Rp 90.000 per meter, bahkan ada yang diatas Rp 100.000 per meter. OK Saidin mengatakan harga ganti rugi ini cukup kontras dengan kantor Gubernur Sumut yang bisa dihapus buku dengan harga Rp 1.000 karena hak keperdataan PTPN II atas lahan eks HGU tersebut hanya berupa tanaman, bangunan, barang dan benda milik PTPN II yang masih berada di atas lahan tersebut, bukan tanahnya.
“Kenapa ada satu keputusan yang tidak sama pada kasus yang sama. Pertanyaannya, ini ada apa ? ujar OK Saidin.
“Dengan harga puluhan ribu sampai jutaan rupiah per meter persegi, itu berarti BUMN sudah jualan tanah, berarti tanah itu bukan eks HGU lagi kalau dengan harga appraisal itu,” kata OK Saidin, yang kini menjabat Ketua Program Studi Magister Hukum USU.
OK Saidin menerangkan BUMN itu suatu entitas badan hukum, bagaimana dia bisa memperkaya dirinya. OK Saidin menegaskan apapun alasanya tidak dibenarkan memperkaya diri dengan mengambil hak orang lain apalagi itu dilakukan oleh sebuah institusi negara.
Kabag Pemanfaatan dan Pengamanan Aset PTPN II, Ridho Syahputra Manurung dalam Rapat Dengar Pendapat pada 16 Desember 2021 dengan Komisi A DPRD Sumut melaporkan bahwa proses pembayaran lahan eks HGU yang telah terbit SK nominatifnya bisa memakan waktu hingga lima bulan di Kementerian BUMN. Ridho menyebut sejauh ini baru tiga pemohon yang tercatat melunasi pembayaran yaitu Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) seluas 218.000 M2, Hafid Nazar dkk 41.400 M2, Surya Sembiring/Ratna Sari dkk 3.900 M2.
Berdasarkan data rekapitulasi dari tim verifikasi dan identifikasi, jumlah pemohon masyarakat atas tanah eks HGU PTPN II yang telah terbit SK nominatifnya sejak 18 Desember 2020 hingga 10 November 2021 mencapai 60 pemohon. Namun selama hampir satu tahun diterbitkan, hanya tiga pemohon yang baru melunasi pembayaran lahan eks HGU PTPN II. Mungkin saja masyarakat pemohon hak untuk lahan eks HGU merasa kuatir pembayaran untuk tanah yang HGUnya sudah berakhir ke PTPN II adalah melawan hukum.
Sampai berita ini dinaikkan, pihak PTPN II belum memberikan keterangan terkait peraturan BUMN yang menyatakan tanah eks HGU masih tercatat sebagai aset. (Re)