FORUM INDRAMAYU | Untuk meningkatkan kesadaran mengenai transisi energi dan dampak kesehatan masyarakat, GreenFaith Indonesia bekerja sama dengan GreenFaith Jepang serta WALHI Jawa Barat menyelenggarakan dialog tentang transisi energi dan kesehatan masyarakat.
Acara ini dilangsungkan pada Kamis, 24 Oktober 2024, di Indramayu dan dilanjutkan dengan kunjungan ke *Jatayu Community* serta Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu. Kunjungan ini merupakan bagian dari *field trip* GreenFaith Jepang dan para pemimpin agama Jepang ke Indonesia.
Dalam acara tersebut, Ricka Ayu dari Kebumi (Kesehatan untuk Bumi) menyoroti meningkatnya kebutuhan listrik di Indonesia yang mendorong pemerintah untuk terus membangun PLTU baru. Meski ada upaya pemerintah mengurangi penggunaan batu bara, seperti melalui *co-firing*, tantangan besar terkait dampak lingkungan dan kesehatan masih menghantui.
“Polusi udara dari PLTU berbahan bakar fosil tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga mengancam kesehatan masyarakat. Paparan polusi tingkat tinggi dapat menyebabkan penyakit pernapasan, jantung, stroke, hingga kanker paru-paru. Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan masyarakat miskin paling terdampak,” ujar Ricka.
Ricka juga menekankan bahaya partikel kecil PM 2.5 yang dihasilkan dari PLTU batu bara. Partikel ini bisa masuk ke paru-paru dan darah, menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk kelahiran prematur dan penyakit kardiovaskular.
Kegigihan Warga Jatayu Melawan PLTU
Hozue Hatae dari Friends of the Earth Japan (FoE Japan) turut mengapresiasi perjuangan warga Jatayu yang gigih menuntut hak mereka untuk lingkungan yang lebih sehat. “Warga Jatayu memiliki alasan kuat dalam menuntut penutupan PLTU Indramayu. Gerakan protes mereka sudah menjangkau tingkat lokal, nasional, hingga internasional,” ungkap Hozue.
Hozue juga mengungkapkan bahwa meskipun pada 2021 Pemerintah Jepang berkomitmen untuk menghentikan pembangunan PLTU baru, beberapa perusahaan Jepang tetap mempromosikan teknologi *co-firing*—yang menggabungkan batu bara dengan bahan lain—sebagai solusi ramah lingkungan. Namun, menurut Hozue, solusi ini hanyalah ilusi karena tetap menyumbang pada perubahan iklim melalui penggunaan amonia sebagai bahan bakar.