FORUM JAKARTA | Dalam beberapa tahun terakhir, isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan menjadi tantangan global yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pendidikan. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, sebagai organisasi Islam yang telah berdiri lebih dari satu abad, memiliki tanggung jawab moral untuk menghadirkan solusi nyata melalui pendidikan yang inovatif dan berkelanjutan. Islamic Green School diharapkan menjadi wujud konkret dari komitmen ini dan menjadi gerakan nasional.
Jelang Tanwir I ‘Aisyiyah, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah meluncurkan Buku Islamic Green School, sebuah Pedoman Praktis Sekolah Ramah Lingkungan. Buku yang diawali oleh niat kuat Eco Bhinneka Muhammadiyah membuat model Islamic Green School dengan ‘Aisyiyah Boarding School Bandung yang diluaskan menjadi gerakan nasional, dengan menyusun buku panduan Islamic Green School oleh pakar-pakar pendidikan dari Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat. Penyusunan buku panduan ini didukung penuh oleh Majelis PAUD Dasmen PP ‘Aisyiyah dan LLHPB PP ‘Aisyiyah.
Peluncuran buku ini bukan hanya wujud syukur atas selesainya panduan yang kemudian akan digunakan oleh Majelis PAUD Dasmen Aisyiyah serta oleh pihak-pihak yang terkait, kegiatan ini bagian dari syiar Pra Tanwir I ‘Aisyiyah, yang akan dilaksanakan di Jakarta pada 15-17 Januari 2025 dengan tema Dinamisasi Perempuan Berkemajuan Mewujudkan Indonesia Berkeadilan.
Peluncuran buku yang dilaksanakan di Aula Lantai 6 Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah ini dihadiri 82 orang peserta yang berasal Majelis, Lembaga, Ortom PP Muhammadiyah dan PP ‘Aisyiyah, serta dari Ikatan Guru ABA (IGABA) dan Ikatan Guru ‘Aisyiyah se Indonesia (IGASI), serta lebih dari 409 orang peserta dari PWA se Indonesia yang bergabung secara daring melalui ZOOM.
Dalam sambutannya, Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Prof. Masyitoh Chusnan, menyampaikan buku ini sebagai langkah yang penting, mendesak, dan strategis di tengah era globalisasi yang serba instan dan berdampak pada lingkungan hidup. Prof Masyitoh menekankan bahwa ibu-ibu ‘Aisyiyah merupakan ujung tombak dakwah lingkungan. “Kami berharap buku ini menjadi panduan guru dalam mengenalkan lingkungan sesuai usia anak didik, sehingga lebih tepat sasaran,” imbuhnya. Ia menyebutkan bahwa PP Aisyiyah terus mendorong penerbitan karya intelektual yang lainnya. “Buku ini kelak merupakan aset intelektual yang tidak pernah punah,” ucapnya.
Sementara itu Wamendikdasmen, Dr. Fajar Riza Ul Haq, menyampaikan bahwa peran sekolah sangat penting dalam menjaga lingkungan. Buku ini menjadi kontribusi signifikan untuk membangun kesadaran ekologis di sekolah sebagai rumah kedua bagi anak-anak. “Anak-anak kita perlu lebih mengenal persoalan kehidupan yang mengancam eksistensi. Sehingga mereka memiliki kesadaran yang berkelanjutan, dan mampu menempatkan diri sebagai khalifah yang memakmurkan dan melestarikan sumberdaya alam,” terangnya.
Fajar juga mengingatkan bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata, seperti banjir di Abu Dhabi dan cuaca ekstrem yang mengganggu pelaksanaan ibadah haji. “Anak-anak harus dikenalkan dengan efek negatif pemanasan global, agar mereka memahami dan mengambil peran dalam mitigasi serta adaptasi,” tambahnya.
Prayoga Rendra Vendiktama, Penelaah Teknis Kebijakan di Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikdasmen, menyampaikan bahwa pihak Kemendikdasmen turut menggaungkan pentingnya pendidikan iklim. Pemahaman, aksi nyata, dan berbagi, adalah 3 tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan iklim.
“Pertama, kita ajak peserta didik kita untuk memahami isu perubahan iklim termasuk dampak-dampak yang dirasakan. Lalu kita ajarkan mereka untuk melakukan aksi nyata, bisa berupa adaptasi maupun mitigasi terhadap perubahan iklim. Setelah aksi nyata, ujungnya adalah berbagi, bagaimana peserta didik bisa menggerakkan keluarga dan komunitas untuk menanggulangi perubahan iklim,” paparnya.
Ketua Tim Kerja Pengurangan Emisi GRK Sektor Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup, Andina Novita Tas’ang, menyoroti peran ibu-ibu dalam pengelolaan sampah rumah tangga. Andina menjelaskan bahwa sampah makanan masih menjadi kategori sampah terbanyak, dan jika tidak dikelola dengan baik dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca yang mempercepat perubahan iklim.
“Kita bisa mulai dari rumah dengan memilah sampah. Pendidikan minim sampah harus melibatkan seluruh ekosistem sekolah, termasuk orang tua murid, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah,” katanya.
Hal yang paling mendasar, lanjutnya, bisa dimulai dengan pembiasaan gaya hidup minim sampah. “Ini bisa dilakukan para individu untuk berpikir mengurangi sampah. Setiap individu sadar dengan sampah yang dihasilkannya, dan tahu gimana cara mengolahnya,” ajaknya.