FORUM JAKARTA | Suara peluit dan pekikan orasi memecah keheningan siang di depan gedung megah Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Senin (6/10/2025). Di bawah terik matahari, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Sumatera Utara (FORMASU) berdiri tegak membawa spanduk besar bertuliskan, “Usut Tuntas Korupsi Dana Hibah KPU Tanjungbalai – Jangan Tutup Mata!”
Di barisan depan, tampak Ketua Umum FORMASU, Kori Fatnawi, memimpin orasi dengan suara lantang. “Rp16,5 miliar dana hibah itu bukan angka kecil! Uang rakyat harus dipertanggungjawabkan. Kami meminta Jaksa Agung turun tangan dan jangan biarkan kasus ini dikaburkan!” serunya, disambut gemuruh dukungan rekan-rekannya.
Kasus yang mereka soroti bukan hal baru. Dugaan korupsi dana hibah sebesar Rp16,5 miliar di lingkungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tanjungbalai mencuat sejak beberapa bulan lalu. Dana itu disebut-sebut berasal dari anggaran hibah pemerintah daerah yang seharusnya digunakan untuk mendukung pelaksanaan pemilihan umum daerah.
Namun, di balik catatan administrasi dan laporan kegiatan, muncul tanda tanya besar: ke mana sebenarnya aliran dana itu mengalir?
FORMASU menuding adanya upaya “pengaburan” kasus di tingkat daerah. Mereka menilai Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tanjungbalai belum menunjukkan komitmen serius menuntaskan perkara tersebut.
“Sudah 12 orang dari KPU diperiksa, tapi hasilnya seolah hilang di udara. Tidak ada kejelasan, tidak ada transparansi. Kami menduga ada niat jahat yang sengaja diatur agar kasus ini menguap,” ujar Azmi, koordinator lapangan aksi, di sela demonstrasi.
Kecurigaan mahasiswa bukan tanpa alasan. Dalam pantauan mereka, sejak penyelidikan dimulai, publik tidak pernah mendapatkan informasi terbuka terkait perkembangan kasus. Beberapa pihak menyebut Kejari Tanjungbalai terkesan “menahan” penyidikan tanpa alasan yang jelas.
Hal inilah yang kemudian mendorong FORMASU datang langsung ke Kejaksaan Agung RI di Jakarta, membawa aspirasi dan laporan resmi ke Divisi Pengaduan Masyarakat (Dumas).
“Kami percaya Kejagung punya integritas untuk menegakkan hukum secara adil. Tapi kalau Kejari di bawahnya justru diduga bermain mata, maka citra lembaga hukum akan rusak di mata rakyat,” kata Kori dengan nada tegas.
Aksi mahasiswa itu berlangsung damai, di bawah pengawalan ketat aparat kepolisian. Spanduk-spanduk tuntutan berkibar, di antaranya bertuliskan “Tangkap Oknum KPU Koruptor!” dan “Keadilan Tak Boleh Dibungkam!”.
Meski panas matahari menyengat, semangat para mahasiswa tak surut. Mereka meneriakkan yel-yel perjuangan sambil mengibarkan bendera Merah Putih — simbol keberanian dan kesetiaan terhadap kebenaran.
“Korupsi adalah pengkhianatan terhadap rakyat,” kata Kori. “Kami mahasiswa tidak akan diam melihat uang negara digerogoti sementara rakyat susah makan.”
Kini bola panas berada di tangan Kejaksaan Agung. Laporan resmi FORMASU telah diterima, namun publik menanti: apakah lembaga penegak hukum tertinggi itu akan menindaklanjuti dengan penyelidikan mendalam?
Bagi para mahasiswa, langkah hukum bukan sekadar proses administratif, tetapi cerminan moral bangsa. “Keadilan harus ditegakkan, bukan ditunda. Jangan biarkan Rp16,5 miliar itu lenyap tanpa pertanggungjawaban,” tegas Kori sebelum meninggalkan lokasi aksi.
Di tengah derasnya arus ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum, aksi FORMASU menjadi pengingat bahwa suara mahasiswa masih hidup — masih lantang dan jujur menuntut keadilan. Mereka bukan sekadar berdiri di jalanan, tapi berdiri atas nama nurani dan masa depan.
Sore itu, teriakan mereka menggema di depan gedung Kejaksaan Agung: “Usut Tuntas Korupsi Dana Hibah KPU Tanjungbalai!”
Suara yang mungkin sederhana, tapi menjadi gema panjang tentang perlawanan terhadap keheningan yang menutupi kebenaran. (soeqri)







