PP IPA Minta Pemerintah Tegas Tolak Atlet Israel Demi Palestina

IMG 20251009 WA0008

FORUM JAKARTA | Di tengah gegap gempita persiapan Kejuaraan Dunia Senam Artistik ke-53 yang akan digelar di Jakarta, suara berbeda muncul dari sebuah ruang sederhana di kantor Pengurus Besar Al Washliyah. Di sana, sekelompok anak muda berseragam rapi duduk dengan wajah serius—mereka bukan atlet, bukan pejabat, tapi pelajar. Mereka datang membawa nurani.

Adalah Ikatan Pelajar Al Washliyah (PP IPA), organisasi pelajar yang sejak lama dikenal lantang dalam isu moral dan kemanusiaan. Ketua Umumnya, Mhd Amril Harahap, dengan suara tegas namun penuh empati, menyuarakan satu hal: ā€œTolak kedatangan atlet Israel ke Indonesia.ā€

Menurut Amril, permintaan itu bukan sekadar penolakan biasa, melainkan bentuk konsistensi terhadap politik luar negeri Indonesia yang selalu berdiri di garis depan dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

ā€œPresiden Prabowo telah dengan tegas menyuarakan dukungan untuk Palestina di hadapan dunia, di sidang PBB. Maka seharusnya sikap itu tidak berhenti di panggung diplomasi saja,ā€ ujarnya.

Didampingi Sekretaris Jenderal Khoirunnisa dan Bendahara Umum Mhd Ilham Harahap, Amril menjelaskan bahwa kehadiran atlet Israel pada kejuaraan dunia yang dijadwalkan berlangsung 19–25 Oktober 2025 di Jakarta bisa menimbulkan luka psikologis bagi bangsa yang sejak lama mengibarkan bendera solidaritas untuk Palestina.

ā€œIni bukan soal olahraga semata,ā€ lanjutnya, ā€œtetapi tentang nilai kemanusiaan dan komitmen moral kita terhadap bangsa yang masih terjajah.ā€

PP IPA mendesak agar Menteri Luar Negeri Sugiono dan Menteri Imigrasi dan Pemberdayaan Masyarakat Agus Andrianto berkolaborasi menolak kedatangan atlet Israel ke tanah air. Bagi mereka, langkah itu adalah bukti bahwa Indonesia tetap teguh pada garis perjuangan kemerdekaan Palestina, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga tindakan nyata.

Khoirunnisa menambahkan, suara pelajar hari ini adalah bentuk cinta terhadap bangsa. ā€œKami tidak ingin Indonesia dianggap plin-plan. Kalau kita mendukung kemerdekaan Palestina, maka kita juga harus konsisten dalam setiap kebijakan,ā€ ucapnya lembut.

Suasana di ruangan itu terasa hangat, penuh idealisme muda. Di dinding, tergantung bendera merah putih dan kaligrafi bertuliskan ā€˜Bersatu Untuk Kebenaran’. Nilai yang sederhana, namun menjadi fondasi bagi mereka untuk bersuara lantang.

Di akhir pernyataannya, Amril menutup dengan kalimat yang mencerminkan ketulusan:
ā€œIni bukan tentang membenci bangsa lain, tapi tentang berdiri di sisi yang benar. Kami ingin Indonesia tetap menjadi negara yang membela perdamaian, bukan yang mengabaikan penderitaan.ā€

Dari ruang kecil itu, suara para pelajar Al Washliyah menggema — suara nurani yang menolak diam atas ketidakadilan, suara yang mengingatkan bahwa diplomasi sejati lahir dari keberanian untuk tetap konsisten pada nilai kemanusiaan. (re)