FORUM TAPUT | Senja mulai turun di Sipoholon, Tapanuli Utara. Langit jingga menggantung di atas atap Seminarium HKBP ketika lonceng gereja berdentang pelanâtanda berakhirnya Rapat Pendeta HKBP 2025, Kamis malam (30/10/2025). Namun di balik keheningan sore itu, gema seruan dari ribuan pendeta yang berhimpun empat hari penuh masih terasa kuat: Gereja harus peduli pada manusia dan alamnya.
Di auditorium megah yang menjadi saksi pertemuan rohaniwan dari 33 distrik HKBP, lebih dari dua ribu pendeta berdiskusi, berdoa, dan merumuskan arah pelayanan gereja di tengah zaman yang terus berubah. Bagi mereka, menjadi pelayan Kristus bukan sekadar berkhotbah di mimbar, melainkan juga memperjuangkan keadilan sosial dan menjaga bumiârumah bersama seluruh ciptaan.
âHKBP menolak segala bentuk eksploitasi sumber daya alam yang mencederai kehidupan manusia dan alam ciptaan Tuhan,â tegas Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST, pucuk pimpinan gereja, dalam pidato penutupan. Ucapannya disambut hening khidmat para pendeta yang berdiri di deretan kursi panjang, sebagian menunduk, sebagian mengangguk dalam doa.

Isu lingkungan bukan hal baru bagi HKBP. Gereja yang berdiri sejak abad ke-19 ini telah lama bersuara atas kerusakan alam di Tano Batak, terutama di kawasan Danau Toba. Dalam rumusan âTona Rapat Pendetaâ tahun ini, HKBP kembali menegaskan penolakannya terhadap praktik eksploitasi yang merusak tanah dan air kehidupan.
Salah satu sikap paling tegas muncul terhadap keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL). HKBP menuntut pemerintah mencabut izin operasional perusahaan tersebut karena dinilai menimbulkan penderitaan masyarakat dan kerusakan ekologis. âKami ingin dunia tahu, gereja tidak bisa diam ketika ciptaan Tuhan dirusak,â ujar salah satu pendeta muda yang baru ditahbiskan tahun lalu.
Namun seruan HKBP bukan hanya tentang lingkungan. Rapat Pendeta juga menyoroti maraknya ketidakadilan sosial, korupsi, perjudian, narkoba, dan perdagangan manusiaâluka-luka sosial yang masih menganga di tengah masyarakat. Dalam suasana penuh refleksi, para pelayan gereja bertekad untuk tidak sekadar menegur dosa dari mimbar, tetapi juga turun menyembuhkan luka di tengah umat.

Empat hari rapat itu bukan sekadar agenda organisasi, melainkan ruang spiritual untuk meneguhkan panggilan. Dari sesi doa hingga diskusi panjang, mereka membicarakan bagaimana gereja bisa tetap âhidupâ di tengah arus modernisasi dan digitalisasi yang kadang mengikis nilai-nilai rohani.
Pada pembukaan rapat (27/10), Effendi Simbolon, Ketua Yayasan Universitas HKBP Nommensen, hadir menyampaikan pentingnya dukungan bagi kemajuan pendidikan Kristen. âGereja dan pendidikan tidak bisa dipisahkan. Dari mimbar dan ruang kuliah, keduanya membentuk karakter generasi yang takut akan Tuhan,â katanya.
Puncak kegiatan ditandai dengan pelantikan Pdt. Hulman Sinaga sebagai Ketua Rapat Pendeta HKBP periode 2025â2029, serta pembacaan rumusan Tona oleh Pdt. Dr. Tumpal Silitonga. Dokumen ini menjadi arah pelayanan HKBP ke depanâtentang disiplin, dogma, penguatan lembaga pendidikan teologi, hingga reformasi organisasi gereja.
Menjelang malam penutupan, suasana di halaman Seminarium terasa syahdu. Para pendeta saling bersalaman, sebagian berfoto bersama, sebagian lainnya terdiam di bawah cahaya lampu temaram. Di wajah mereka tergambar kelelahan sekaligus semangat baru.
âGereja harus menjadi terang dan garam bagi dunia,â tutur Ephorus HKBP Pdt. Victor Tinambunan dengan suara bergetar. âKita akan terus memimpin perjalanan ini dengan keadilan dan damai sejahtera Kristus.â
Di Tapanuli Utara yang dikelilingi bukit dan danau, suara itu menggema jauh melampaui tembok gereja. Sebuah pesan sederhana namun kuatâbahwa iman tidak berhenti di altar, tapi hidup dalam tindakan: menjaga manusia, menegakkan keadilan, dan memelihara bumi. (harapansagala)







