Kejati Sumut Periksa Mantan Bupati Deli Serdang Kasus Citraland, Rp 150 Miliar Kembali Triliunan Masih ‘Hilang’

Kasus CitraLand Jadi Simbol Korupsi Lahan PTPN Terbesar di Sumatera Utara

IMG 20251031 WA0066
Mantan Bupati Deli Serdang Ashari Tambunan memenuhi undangan Kejati Sumut untuk dimintai keterangan terkait kasus pengalihan aset PTPN ke Citraland

FORUM MEDAN |  Penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) kembali memeriksa sejumlah pihak dalam kasus dugaan korupsi pengalihan aset lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PTPN II—yang kini bernama PTPN I Regional I—kepada pengembang perumahan elite CitraLand (Ciputra Group). Kasus ini menjadi salah satu perkara korupsi terbesar yang sedang ditangani Kejatisu di bawah pimpinan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Harli Siregar.

Setelah sebelumnya menahan tiga tersangka, yakni mantan Kepala BPN Deli Serdang Abdul Rahim Lubis, mantan Kepala BPN Provinsi Sumut Askani, dan Direktur PT Nusa Dua Propertindo (NDP) Iman Subekti, penyidik kini memeriksa mantan Bupati Deli Serdang dua periode Ashari Tambunan.

Ashari, yang kini menjabat sebagai Anggota DPR RI Komisi VIII, menjalani pemeriksaan di Gedung Kejatisu, Kamis (30/10/2025) mulai pukul 08.00 hingga 13.00 WIB. Saat tiba di Kejati, Ashari datang tanpa didampingi penasihat hukum dan tampak kooperatif mengikuti proses pemeriksaan.

Plh. Asisten Intelijen (Asintel) Kejatisu Bani Ginting, SH, membenarkan pemeriksaan tersebut.

“Benar, yang bersangkutan sudah dimintai keterangan. Statusnya masih sebagai saksi. Namun tidak menutup kemungkinan akan ada penetapan tersangka lain,” ujar Bani kepada wartawan.

Ketika ditanya mengenai materi pemeriksaan, termasuk kemungkinan keterlibatan Ashari dalam dugaan penerimaan gratifikasi terkait pengalihan aset PTPN menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk pengembang CitraLand, Bani enggan menjelaskan lebih jauh dengan alasan masih dalam penyidikan.

Kasus ini bermula dari kerja sama operasi (KSO) antara PTPN II dan pihak swasta dalam pengelolaan lahan seluas 8.077 hektar di Kabupaten Deli Serdang. Dalam praktiknya, sebagian lahan tersebut diduga dialihkan kepada pihak pengembang tanpa prosedur yang sah dan merugikan keuangan negara.

Dugaan penyimpangan mencuat setelah Kejatisu menemukan indikasi kuat bahwa sejumlah oknum pejabat terlibat dalam proses alih fungsi lahan dari HGU menjadi HGB, yang kemudian dikuasai pengembang besar seperti CitraLand.

Di bawah kepemimpinan Kajati Harli Siregar, Kejatisu telah berhasil mengamankan uang pengembalian sebesar Rp150 miliar dari pihak CitraLand. Meski begitu, publik menilai penanganan kasus ini masih harus dilanjutkan secara transparan dan tanpa tebang pilih.

Kasus alih aset PTPN ini telah lama menjadi sorotan publik di Sumatera Utara. Masyarakat menilai praktik pengalihan lahan negara kepada pihak swasta secara tidak sah merupakan bagian dari skema korupsi terstruktur yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Kejatisu diminta menuntaskan penyidikan hingga ke akar, termasuk mengusut kemungkinan keterlibatan pejabat aktif maupun purnabakti yang diduga ikut mengambil keuntungan dari jual-beli aset negara tersebut.

Rp150 Miliar Kembali, Triliunan Masih Hilang

Kejati Sumut berhasil mengamankan uang pengembalian Rp150 miliar dari pihak CitraLand. Namun jumlah itu hanyalah “setetes air di lautan” dibanding potensi kerugian negara yang diperkirakan mencapai triliunan rupiah.

Bagi publik, langkah itu memang patut diapresiasi, tetapi belum cukup. Mereka menunggu keberanian Kejati untuk membuka aktor intelektual dan penerima manfaat terbesar dari skandal ini. Karena dalam sejarahnya, praktik pengalihan aset PTPN di Deli Serdang bukanlah hal baru—ia telah menjadi “rahasia umum” yang lama dibiarkan.

 “Kita sudah terlalu sering melihat kasus besar berhenti di tingkat teknis. Padahal yang menandatangani, yang mengesahkan kebijakan, jarang tersentuh,” ujar seorang aktivis antikorupsi di Medan yang meminta namanya tidak disebut.

Kasus alih aset PTPN ini sejatinya menggambarkan wajah lama korupsi di Indonesia—bukan dalam bentuk uang tunai, tetapi dalam bentuk penguasaan tanah negara. Proses hukum yang berbelit, izin yang tumpang tindih, dan campur tangan pejabat di level daerah hingga pusat menjadi ladang subur penyimpangan.

Bagi sebagian pihak, “tanah” bukan sekadar aset agraria, melainkan sumber kekuasaan ekonomi dan politik. Di sinilah titik rawan muncul: ketika pejabat publik menjadi bagian dari jaringan bisnis properti, batas antara pelayanan publik dan kepentingan pribadi menjadi kabur.

Langkah Kejatisu menahan para pejabat agraria dan memeriksa mantan kepala daerah dinilai sebagai sinyal positif. Namun, publik tetap menagih komitmen transparansi. Kasus CitraLand bukan sekadar persoalan hukum, melainkan juga potret penguasaan aset negara oleh korporasi besar yang melibatkan jaringan kekuasaan di tingkat daerah dan pusat.

Dengan nilai kerugian negara yang ditaksir mencapai triliunan rupiah, Kejatisu diharapkan mampu menegakkan hukum secara konsisten agar praktik serupa tidak kembali terulang di masa mendatang. (zas)