Cerita mistis di balik jembatan Tanjung Morawa, acap membikin bulu kuduk merinding. Jembatan yang menghubungkan Desa Tanjung Morawa-A dengan Desa Limau Manis ini, ternyata menyimpan banyak misteri. Jembatan yang berada di sebelah Kantor PTPN-II ini, berusia ratusan tahun dan beberapa kali diperbaiki hingga menjadi permanen.
Konon, sebelum Belanda menjajah nusantara, di areal jembatan yang melintang di atas Sungai Belumai tersebut, hanya sebagai tempat penyeberangan masyarakat dengan menggunakan rakit bambu. Sungai Belumai sendiri menjadi sarana para nelayan yang banyak bermukim di Kerajaan Senembah. Waktu itu, dermaga atau pelabuhan yang menjadi pusat menyandar sampan para nelayan yakni berada di Bandar Labuhan.
Menurut cerita ke cerita, kawasan Tanjung Morawa khususnya Kerajaan Senembah dahulunya sudah sangat maju. Selain memiliki pelabuhan (Bandar Labuhan), juga tersedia pusat bisnis di seputaran kawasan simpang tiga yang kini berdiri tugu di lingkaran jalan ibukota Kecamatan Tanjung Morawa. Selain itu, perusahaan asing juga sudah ada yakni Firma Naeher & Grob, yaitu sebuah usaha patungan antara Hermann Naeher yang berkebangsaan Jerman (Bavaria) dan Carl Furchtegott Grob seorang pengusaha berkebangsaan Swiss. Firma Naeher & Grob sendiri berkantor dekat Sungai Belumai yang sekarang Kantor Direksi PTPN-II.
Sekitar tahun 1882, Firma Naeher & Grob mendirikan rumah sakit yang bernama Hospitaal Te Tandjong Morawa. Rumah sakit itu dikepalai Dr Hauser, seorang dokter dari Jerman.
Setelah Belanda datang ke Tanah Deli, Firma Naeher & Grob perlahan bangkrut. Belanda melalui perusahaan Deli Maatschappij, mendapat restu dari Kesultanan Deli mengelolah bisnis perkebunan tembakau. Dan pada 30 September 1889, Firma Naeher & Grob secara resmi berpindah tangan ke Deli Maatschappij yang kemudian membentuk anak perusahaan bernama Senembah Maatschappij.
Menir menir Belanda saat itu mayoritas tinggal di komplek Senembah Maatschappij. Sedangkan kuda-kuda tunggangan mereka dipelihara di daerah Stal (sekarang komplek perumahan PTPN II), sementara ternak lembu mereka dipelihara di kawasan Hutan Tua yang sekarang sering disebut-sebut Kandang Lembu.
Sedangkan rumah sakit Hospitaal Te Tandjong Morawa dipertahankan khusus untuk perawatan kesehatan menir-menir Belanda. Rumah sakit Hospitaal Te Tandjong Morawa berubah nama pada tahun 1969 saat Dirut PTPN-II Kolonel MD Nasution mengganti namanya menjadi RS Gerhard Lumban Tobing (GL Tobing). Nama GL Tobing diambil dari nama dokter yang bertugas di Tebing Tinggi yang tewas tertembak Belanda di dekat jembatan Sungai Belumai dekat pintu masuk PTPN-II pada tahun 1950.