Keadilan dari Hati, Kajati Sumut Restoratifkan 21 Warga Belawan yang Tersandung Kasus Pencurian

IMG 20251006 WA0228

FORUM MEDAN | Di tengah sorotan publik terhadap kerasnya wajah hukum, ada secercah harapan baru yang tumbuh dari sudut utara Kota Medan. Di Belawan, kawasan pesisir yang kerap diidentikkan dengan kehidupan keras dan perjuangan ekonomi, 21 warga kini bisa kembali memeluk keluarga mereka setelah Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) menyetujui penyelesaian perkara mereka melalui pendekatan keadilan restoratif.

Keputusan itu disampaikan Kajati Sumut Dr. Harli Siregar, SH., M.Hum, usai melakukan ekspose bersama jajaran Kejati dan Kejari Belawan. Setelah melalui proses yang hati-hati, perkara pencurian di perusahaan PT Abadi Rakyat Bakti—yang sudah lama tidak beroperasi—diputuskan tidak berlanjut ke meja hijau.

Para tersangka, sebanyak 21 orang, sebelumnya dijerat dengan pasal pencurian berencana. Mereka dituduh mengambil barang-barang dari perusahaan yang telah lama tutup. Namun di balik tindakan itu, ada cerita getir: sebagian besar dari mereka hanyalah warga sekitar yang kehilangan pekerjaan, terdesak kebutuhan hidup, dan tak lagi tahu harus mencari nafkah ke mana.

“Kami salah, Pak. Kami hanya ingin bertahan, bukan ingin merugikan siapa pun,” begitu pengakuan yang terucap lirih dari salah satu tersangka saat pertemuan mediasi, sebagaimana diceritakan oleh salah satu jaksa pendamping di Kejari Belawan.

IMG 20251006 WA0229

Suasana haru menyelimuti ruang mediasi itu. Di hadapan pihak korban, tokoh masyarakat, dan keluarga, para tersangka menangis saat meminta maaf. Mereka menyalami satu per satu perwakilan korban. Tidak ada kata keras, tidak ada dendam. Hanya ada tangan yang saling menggenggam.

“Yang penting mereka sadar, minta maaf, dan berjanji tidak mengulang,” kata perwakilan korban yang akhirnya menerima permintaan maaf tanpa syarat.

Kajati Sumut Harli Siregar menyebut, penerapan keadilan restoratif bukan sekadar keputusan hukum, tetapi keputusan hati. “Kami tidak ingin hukum menjadi alat balas dendam, melainkan sarana memulihkan hubungan yang rusak di tengah masyarakat,” ujarnya usai ekspose dengan JAMPidum Kejagung RI.

“Ini bukan akhir dari penegakan hukum,  melainkan awal dari penegakan keadilan yang hidup dalam hati nurani manusia,” tegas Harli Siregar.

Pendekatan ini sejalan dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa penghentian penuntutan dapat dilakukan jika pelaku dan korban berdamai secara tulus, tanpa paksaan.

IMG 20251006 WA0230

Menurut PLH Kasi Penkum Kejati Sumut, M. Husairi, SH., MH, sebelum keputusan diambil, jaksa telah meneliti secara cermat setiap berkas dan memastikan tidak ada tekanan dalam proses perdamaian.

“Yang utama adalah kepentingan korban tetap terlindungi, dan para tersangka menunjukkan itikad baik untuk memperbaiki kesalahan,” jelas Husairi.

Camat Medan Deli bersama tokoh masyarakat juga turut hadir dalam proses mediasi itu. Mereka menjadi saksi bahwa penyelesaian perkara secara restoratif bukan bentuk kelonggaran, melainkan pembelajaran sosial.

“Kalau setiap kesalahan langsung dihukum, masyarakat tidak pernah belajar berdamai. Tapi kalau mereka diberi kesempatan memperbaiki diri, di situ lahir keadilan yang sesungguhnya,” kata salah seorang tokoh masyarakat yang ikut menandatangani berita acara perdamaian.

Bagi Kejaksaan Tinggi Sumut, kebijakan seperti ini adalah cermin bahwa hukum bisa bersifat manusiawi tanpa kehilangan wibawanya. Restorative Justice bukan hanya sekadar istilah, melainkan praktik nyata membangun kembali harmoni di tengah masyarakat.

Kini, 21 warga Belawan itu telah kembali ke rumah. Mereka bukan lagi terdakwa, melainkan warga yang mendapat kesempatan kedua — kesempatan untuk menebus kesalahan, memperbaiki hidup, dan membuktikan bahwa hukum bisa menjadi jembatan menuju perdamaian. (red)