FORUM JAKARTA | Dunia jagad maya mendadak heboh, Senin (6/10/2025). Sebuah video berdurasi 6 menit 30 detik, berisi pernyataan Abdul Razak Nasution, Ketua Umum Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Al Washliyah (PP HIMMAH), beredar luas. Video itu memuat apresiasi dan kecaman terhadap tambang ilegal yang diperkirakan bisa merugikan negara sampai Rp 100.000 triliun.
Dengan nada serius dan penuh tekanan, Razak dalam video itu mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Sjafri Samsudin, Jaksa Agung ST Burhanudin, Mendagri Tito Karnavian dan beberapa anggota kabinet Merah Putih
yang turun langsung mengawal pengungkapan kasus besar di sektor tambang.
“Kami mengapresiasi Bapak Presiden Prabowo Subianto dan para menteri yang berani turun gunung mengungkap kasus Smelter di Bangka Belitung yang diduga merugikan negara hingga Rp300 triliun,” ujar Razak membuka pernyataannya.
Namun, di balik apresiasi itu, HIMMAH juga menyoroti sisi lain dari persoalan yang mereka anggap jauh lebih besar: praktik tambang ilegal yang disebut-sebut sudah lama menggerogoti kekayaan negara.
Menurut data yang disampaikan Razak, merujuk pada informasi Kementerian ESDM, pada tahun 2021 tercatat sekitar 2.700 titik tambang ilegal tersebar di berbagai daerah. Sementara, pada Agustus 2025, Presiden Prabowo sendiri menyebutkan bahwa terdapat 1.063 titik aktivitas tambang ilegal aktif yang berpotensi merugikan negara dalam jumlah fantastis.
“Kalau benar-benar dihitung dan ditelusuri, saya meyakini potensi kerugian negara dari tambang-tambang ilegal ini bisa mencapai Rp100.000 triliun,” tegasnya.
Bagi HIMMAH, angka itu bukan sekadar data. Mereka menganggapnya sebagai bentuk kegagalan tata kelola sumber daya alam yang harus segera dibenahi. Karena itu, Abdul Razak menegaskan agar Jaksa Agung ST Burhanuddin dan jajarannya benar-benar serius menjalankan visi besar Presiden dalam Asta Cita, terutama pada poin pemberantasan korupsi dan penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Namun nada Razak kemudian berubah lebih keras. Ia meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan audit menyeluruh terhadap rekening sejumlah pejabat di lingkungan Kejaksaan Agung.
“Kami mendesak PPATK memeriksa aliran dana dan rekening Jaksa Agung ST Burhanuddin serta Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah,” katanya. Ia menyebut adanya dugaan permainan dalam penanganan sejumlah perkara yang berkaitan dengan sektor tambang.
Meski pernyataannya kontroversial, Razak menyebut langkah ini bukan bentuk tuduhan pribadi, melainkan bagian dari kontrol sosial mahasiswa agar penegakan hukum berjalan transparan dan sesuai dengan semangat reformasi.
“Negara ini kaya raya. Tapi kalau sumber daya dikelola dengan cara-cara abu-abu, rakyat hanya akan dapat debunya,” ujarnya, menutup pernyataan dengan nada getir namun penuh tekad.
Dalam keterangan akhirnya, HIMMAH menegaskan dua sikap utama: pertama, mendukung penuh langkah Presiden Prabowo Subianto dalam pemberantasan korupsi dan mafia tambang; kedua, mendesak PPATK serta aparat penegak hukum menelusuri dugaan transaksi mencurigakan di sektor tersebut.
Di luar ruangan, udara Jakarta sore itu terasa padat, seolah ikut menahan napas atas isu yang disuarakan para mahasiswa itu. Di tengah derasnya arus kasus hukum dan korupsi sumber daya alam, suara lantang Abdul Razak Nasution dan HIMMAH seakan menjadi pengingat: keadilan dan transparansi bukan sekadar slogan, tapi tuntutan zaman. (red)







