Koma Pena Desak KPK Tangkap “Trio Jaksa Pengkhianat Hukum” Terkait Jejak Dugaan Korupsi Rp 231 Miliar Kasus Topan Ginting 

IMG 20251010 WA0187

FORUM JAKARTA | Di bawah terik matahari Jakarta yang menyengat, puluhan aktivis dari Koma Pena Indonesia berdiri tegak di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (10/10/2025). Di tangan mereka, terbentang spanduk besar bertuliskan “Tangkap dan Penjarakan Trio Oknum Jaksa Nakal!” — sebuah pekikan moral yang menggema di tengah kelesuan penegakan hukum.

Seruan itu bukan sekadar unjuk rasa. Ia adalah jeritan nurani, bentuk perlawanan terhadap apa yang mereka sebut “pengkhianatan terhadap keadilan.”

Tiga nama disebut lantang dalam orasi: Idianto, mantan Kepala Kejati Sumatera Utara; Muhammad Iqbak, mantan Kepala Kejari Mandailing Natal; dan Gomgoman Halomoan Simbolon, eks Kasi Datun Kejari Mandailing Natal. Ketiganya diduga kuat terlibat dalam skandal korupsi proyek jalan di Sumatera Utara yang menyeret nama Topan Obaja Ginting, mantan Kadis PUPR Sumut.

“Jangan biarkan sarang mafia berseragam jaksa tumbuh subur di tubuh penegak hukum!” teriak Awaluddin, salah satu orator Koma Pena dengan suara parau.

Baginya, korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik adalah kejahatan. Tetapi korupsi oleh penegak hukum—adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan kepercayaan rakyat.

Dalam orasinya, Awaluddin menegaskan bahwa dugaan keterlibatan oknum jaksa bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan pidana serius.

“Hukum harus menjadi panglima tertinggi. Siapapun yang melanggar wajib diproses, apalagi bila pelaku itu justru orang yang seharusnya menegakkan hukum,” ujarnya.

Kasus ini bermula dari proyek pembangunan jalan provinsi dan jalan nasional di Sumatera Utara senilai Rp231 miliar. Di balik angka fantastis itu, muncul dugaan bahwa sebagian anggaran dikorupsi melalui jaringan rekanan dan pejabat daerah.

Kini, sorotan publik tertuju pada tiga oknum jaksa yang diduga ikut “bermain” dalam pusaran tersebut.

“Kami menilai ada upaya untuk menutup-nutupi. Tapi KPK jangan takut! Rakyat mendukung penuh pemberantasan korupsi di Sumatera Utara,” ujar Awaluddin di tengah teriakan massa.

IMG 20251010 WA0186

Koordinator Nasional Koma Pena, Fadlan Zainuddin, tampil di barisan depan. Wajahnya tegas, suaranya bergetar tapi penuh keyakinan.

“Ini tidak bisa dibiarkan. KPK harus tegak lurus menegakkan hukum dan mewujudkan Asta Cita Presiden Prabowo. Tidak boleh ada kompromi dengan koruptor, apalagi jika mereka memakai toga kejaksaan!” serunya.

Bagi Fadlan, aksi ini bukan akhir, melainkan awal dari pengawalan panjang terhadap penegakan hukum yang bersih.b“Kami akan kawal kasus ini sampai tuntas. Jangan main-main, rakyat sedang menunggu keadilan!” ucapnya.

Aksi itu tidak berujung hampa. Prayoga, perwakilan Humas KPK RI, turun langsung menemui massa.

“Terima kasih kepada teman-teman Koma Pena. Aspirasi ini akan kami tindak lanjuti. Prosesnya sedang berjalan, dan hasil resminya nanti akan disampaikan oleh juru bicara KPK,” katanya menenangkan situasi.

IMG 20251010 WA0185

Jawaban itu disambut tepuk tangan dan sorak dukungan. Namun, bagi Koma Pena, perjuangan baru saja dimulai.

Gerakan moral Koma Pena mungkin hanya satu dari sekian banyak suara di jalanan. Namun, di tengah publik yang mulai lelah dan skeptis terhadap penegakan hukum, suara mereka menjadi pengingat keras: bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada jabatan, dan hukum tidak boleh menjadi alat permainan segelintir elit berseragam.

KPK kini dihadapkan pada ujian besar—bukan sekadar membongkar korupsi, tetapi mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas lembaga hukum.

Apakah KPK berani menindak “Trio Jaksa” sebagaimana janji mereka kepada rakyat?

Koma Pena sudah menggugat. Kini, sejarah yang akan menjawab. (soeqri)