OPINI  

Jalan Rusak, Cermin Sistem yang Tak Berpihak pada Rakyat

kondisi jalan sunggal medan yang rusak parah m hasbidetikcom 169

Oleh Aulia Zuriyati – (Aktivis Muslimah)

Sebuah jalan seharusnya menjadi penghubung kehidupan, bukan penghalang rezeki. Saat kerusakan dibiarkan terlalu lama, yang hancur bukan hanya aspal, tapi juga harapan para pedagang yang menggantungkan hidup dari setiap roda yang melintas.

Kerusakan Jalan Sunggal di Medan telah berlangsung lebih dari satu tahun. Sekitar 200 meter jalan di sekitar Pasar Sunggal dibiarkan rusak parah. Lubang-lubang besar yang tak kunjung ditangani membuat wilayah tersebut tergenang saat hujan dan berdebu saat kering. Bagi pedagang yang berjualan di sana, ini bukan sekadar jalan rusak—tetapi gangguan nyata terhadap keberlangsungan hidup mereka.

Pembeli enggan datang karena tidak nyaman melintasi kubangan lumpur. Dampaknya? Omzet turun, dagangan tidak laku, penghasilan pun menurun drastis. Sementara kebutuhan hidup tetap berjalan. Tak hanya itu, pelajar yang melintas pun harus mempertaruhkan keselamatan mereka. Beberapa siswa bahkan dilaporkan terjatuh karena kondisi jalan yang licin dan tak rata (medan.tribunnews.com, 28/4/2025).

Inilah realitas yang dihadapi rakyat kecil setiap hari, realitas tentang bagaimana hak-hak dasar mereka diabaikan. Kerusakan jalan ini adalah gejala dari masalah yang lebih besar: gagalnya negara menjamin layanan publik secara adil dan tuntas. Drainase mangkrak, proyek tak selesai, fasilitas terbengkalai. Semua ini bukan semata karena keterbatasan anggaran, melainkan karena pola pikir pengelolaan negara yang keliru.

Dalam sistem kapitalis, layanan publik seperti jalan raya hanya akan diprioritaskan jika memiliki nilai ekonomis atau politik yang tinggi. Proyek infrastruktur cenderung dipilih karena menguntungkan pihak tertentu, bukan karena mendesak bagi rakyat. Maka tak aneh, jika perbaikan jalan bisa tertunda bertahun-tahun hanya karena tidak memberi ā€œcuanā€ bagi elite penguasa. Uang rakyat dikelola dengan orientasi proyek, bukan amanah.

Rakyat kecil pun akhirnya hanya dianggap objek statistik: jumlah penerima bantuan, angka kemiskinan, atau target pembangunan. Bukan manusia utuh yang hak-haknya harus dipenuhi secara serius. Inilah kegagalan mendasar sistem kapitalisme dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang adil dan merata.

Kondisi Jalan Sunggal adalah potret dari masalah yang lebih luas, yakni bagaimana negara hari ini abai terhadap nasib rakyat kecil. Jika satu ruas jalan saja bisa rusak bertahun-tahun tanpa penyelesaian, bagaimana nasib sektor lain yang lebih kompleks? Pendidikan, kesehatan, dan keamanan pun tak lepas dari nasib serupa. Ini bukan hanya soal kurangnya dana atau buruknya manajemen proyek, tetapi karena sistem yang digunakan memang tidak dibangun untuk melayani rakyat, melainkan melayani kepentingan segelintir elite. Oleh karena itu, generasi muda perlu memiliki kesadaran politik yang tajam, bukan hanya sekadar jadi penonton atau pengeluh di media sosial. Perubahan hakiki hanya bisa lahir ketika kita mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem yang berpijak pada akidah Islam dan menjadikan pelayanan terhadap rakyat sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab mulia.

Sebaliknya, dalam sistem Islam, jalan rusak seperti ini bukan hanya dianggap persoalan teknis, tetapi bagian dari tanggung jawab negara yang harus diselesaikan secepatnya. Islam memandang bahwa seluruh urusan rakyat adalah amanah yang harus dijaga. Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (khalifah) adalah pemelihara rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia pimpin.”
(h.r. al-Bukhari dan Muslim)

Artinya, ketika ada jalan rusak yang menghambat aktivitas rakyat, mengurangi penghasilan, bahkan membahayakan jiwa, negara wajib segera turun tangan. Tak ada alasan menunggu tender atau dana dari investor. Dalam sistem Islam, anggaran pembangunan berasal dari Baitul Mal—kas negara yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan umat, tanpa intervensi kepentingan pribadi atau oligarki.

Desain sistemnya pun desentralistik dan responsif. Pemimpin di tingkat wilayah memiliki kewenangan dan dana untuk bertindak cepat, tanpa birokrasi berbelit. Proyek pembangunan tidak dijadikan ajang bagi-bagi untung, melainkan ekspresi tanggung jawab di hadapan Allah dan umat.

Inilah sistem yang benar-benar menjamin keadilan, bukan hanya dengan retorika, tetapi dengan struktur, mekanisme, dan nilai yang berpihak pada rakyat secara nyata. Maka, memperjuangkan jalan yang layak bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal keadilan dan arah perubahan. Generasi muda harus melihat persoalan seperti ini bukan sebagai masalah teknis semata, tetapi sebagai tugas besar, menyuarakan sistem yang menjamin hidup manusia secara utuh, bukan berdasarkan keuntungan segelintir elite.

Wallahualam bissawab.

Penulis adalah Aulia Zuriyati – (Aktivis Muslimah)