Oleh Muzaidah (Aktivis Dakwah Muslimah)
Beberapa waktu lalu, masyarakat Sumatera Utara kembali dikejutkan dengan kabar yang mencemaskan: seorang jaksa dibacok di tempat umum! Peristiwa mengerikan ini tak hanya menyentak rasa kemanusiaan kita, tapi juga menyadarkan bahwa premanisme masih hidup dan bahkan semakin berani. Kita pun bertanya-tanya, apakah rasa aman kini tinggal harapan? Kalau penegak hukum saja bisa jadi korban, bagaimana nasib rakyat biasa?
Kejadian pembacokan terhadap jaksa Jhon Wesli Sinaga dan pegawai honorer Kejari Deli Serdang, Acensio Asilvanov Hutabarat, terjadi pada Sabtu, 24 Mei 2025. Kejadian ini terjadi di siang bolong dan mengejutkan banyak pihak, termasuk para alumni Fakultas Hukum USU. Ketua Ikatan Alumni FH USU, Dr. Hasrul Benny Harahap, menyatakan bahwa kejadian ini menunjukkan masih maraknya aksi premanisme di tengah masyarakat (inewsmedan, 26/5/2025).
Kasus premanisme bukan hal baru di Indonesia. Data dari Komnas HAM dan laporan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kekerasan oleh preman atau ormas sering terjadi, baik berupa pemalakan, ancaman, hingga tindakan kekerasan fisik. Pada tahun 2024, terdapat lebih dari 1.800 laporan kasus kekerasan premanisme yang masuk ke kepolisian secara nasional (kompas.com, 3/10/2024).
Menurut laporan dari detik.com (29/42024), Kepolisian Republik Indonesia mengakui bahwa upaya pemberantasan premanisme masih sulit. Hal ini karena banyak pelaku kekerasan terorganisir yang memiliki hubungan dengan oknum aparat atau dilindungi pihak tertentu, membuat proses hukum menjadi tidak tuntas.
Premanisme adalah penyakit sosial yang tumbuh subur saat hukum lemah dan keadilan mahal. Ketika negara tidak benar-benar tegas dalam menindak pelaku, dan aparat tak lagi dihormati karena keterlibatan mereka dalam praktik buruk, maka masyarakat pun kehilangan harapan. Pembacokan terhadap seorang jaksa bukan hanya sekadar kriminalitas biasa. Ini simbol rusaknya sistem perlindungan hukum di negeri ini.
Namun, akar masalah dari premanisme jauh lebih dalam. Budaya kekerasan tumbuh dari berbagai sisiāmulai dari tontonan yang sarat kekerasan, pergaulan bebas tanpa nilai, pendidikan yang minim akhlak, hingga keluarga yang tak lagi membina dengan agama. Banyak anak muda tumbuh tanpa figur teladan, hidup di lingkungan keras, dan merasa tidak punya masa depan. Ditambah tekanan ekonomi, pengangguran, dan ketimpangan sosial yang tajam, membuat sebagian orang memilih jalan pintas: menjadi preman. Saat negara gagal menciptakan keadilan, sebagian rakyat terpaksa menciptakan “keadilan versi sendiri”, walau dengan kekerasan.
Apakah cukup menambahkan CCTV dan patroli? Tentu tidak. Premanisme bukan sekadar soal kriminalitas fisik, tapi cermin dari sistem yang rusak. Bila akar masalahnya tidak diselesaikanāyakni kemiskinan, ketimpangan sosial, lemahnya penegakan hukum, dan tidak adanya keteladanan moralāmaka kasus-kasus seperti ini akan terus berulang.
Kita harus akui, budaya kekerasan sudah mengakar. Orang menyelesaikan masalah bukan lagi dengan hukum atau dialog, tapi dengan parang dan pukulan. Mengapa bisa terjadi? Karena sistem kehidupan kita tidak lagi mendidik masyarakat untuk menjadi pribadi yang takut kepada Tuhan dan hukum, tapi malah terbiasa menonton kekerasan, hidup dalam tekanan, dan merasa keadilan hanya milik yang punya uang.
Kita ini sudah terlalu sering dibikin resah dengan berita-berita semacam ini. Tapi anehnya, setiap kejadian berlalu begitu saja, tak ada efek jera. Para pelaku dihukum ringan, atau bahkan tidak disentuh hukum sama sekali. Kalau dibiarkan terus begini, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada negara. Orang bisa nekat main hakim sendiri karena merasa hukum tidak berpihak pada korban, tapi justru melindungi pelaku yang punya “backing.”
Mirisnya lagi, kadang preman-preman ini justru dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik atau bisnis. Selama premanisme dijadikan alat, bukan musuh bersama, maka jangan harap negeri ini bisa aman. Ini bukan cuma soal oknum, tapi soal sistem yang sudah rusak dan perlu diganti total. Masyarakat butuh sistem yang tidak mentolerir kekerasan dan tidak membiarkan kezaliman merajalela.
Premanisme tumbuh saat sistem kehidupan abai terhadap nilai-nilai agama. Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, membuat masyarakat tidak lagi punya pegangan moral. Akibatnya, kekerasan dianggap hal biasa, dan aparat hanya jadi penonton atau bahkan pelaku.
Islam memandang premanisme sebagai bentuk kemungkaran yang harus dicegah dan diberantas. Kekerasan terhadap sesama manusia, apalagi terhadap penegak hukum, adalah pelanggaran berat. Dalam Islam, tidak ada toleransi bagi kezaliman, apapun bentuknya. Nabi Muhammad saw. bersabda, āTolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.ā Para sahabat bertanya, āBagaimana menolong yang zalim, wahai Rasulullah?ā Beliau menjawab, āKamu mencegahnya dari melakukan kezaliman, itulah cara menolongnya.” (h.r. Bukhari)
Islam juga memberikan tiga pilar penting dalam mencegah premanisme: Pertama, pendidikan akidah yang kuat ā masyarakat harus dibekali dengan ilmu yang membentuk kesadaran akan halal dan haram, bukan sekadar tahu hukum, tapi paham dan takut melanggar karena sadar pengawasan Allah. Kedua, amar makruf nahi mungkar ā masyarakat didorong saling menasihati dan berani menegur kemungkaran di sekitarnya, bukan malah membiarkan kejahatan terjadi karena takut atau merasa bukan urusan. Ketiga, sanksi tegas yang menjerakan ā dalam Islam, pelaku kejahatan akan dihukum secara adil dan cepat, tanpa pandang bulu. Tidak ada perlindungan bagi pelaku karena jabatan atau uang.
Islam hadir dengan solusi menyeluruh. Tidak hanya mengatur soal ibadah, tapi juga keamanan masyarakat. Berikut beberapa solusi Islam yang bisa memberantas premanisme dari akarnya: Pertama, Islam membangun pendidikan berbasis akidah Islam sejak usia dini. Tujuannya agar setiap individu tumbuh menjadi pribadi yang bertakwa dan takut kepada Allah, bukan hanya takut kepada polisi. Kedua, Islam menerapkan sistem sanksi (uqubat) yang tegas, cepat, dan adil. Dalam sistem Islam, pelaku kekerasan akan dihukum dengan hukum yang membuat jera, sehingga tidak ada celah untuk premanisme berkembang.
Ketiga, negara dalam sistem Islam wajib menjamin kebutuhan hidup rakyat. Banyaknya preman muncul karena tekanan ekonomi, minimnya lapangan kerja, dan ketidakadilan distribusi kekayaan. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab atas sandang, pangan, dan papan rakyat. Keempat, budaya amar makruf nahi mungkar dijadikan tanggung jawab bersama. Bukan hanya polisi, tapi seluruh warga masyarakat ikut menjaga keamanan dan saling mengingatkan untuk menjauhi kezaliman.
Dengan sistem Islam, premanisme tidak hanya diberantas di permukaan, tapi dicegah sejak dari akarnyaāmelalui pendidikan, ekonomi, budaya, dan hukum.
Peristiwa pembacokan terhadap jaksa Jhon Wesli adalah tamparan keras bagi kita semua. Ini bukti bahwa premanisme masih hidup dan bahkan lebih berani dari sebelumnya. Jika aparat hukum saja bisa diserang, maka rakyat biasa semakin tak merasa aman. Kita tak bisa terus bergantung pada solusi tambal sulam.
Sudah waktunya kita melihat kembali solusi dalam sistem Islam, sebagai sistem kehidupan yang mampu menjaga ketertiban, menegakkan keadilan, dan membina masyarakat dengan nilai-nilai takwa. Hanya dengan cara ini, kita bisa hidup dalam rasa aman yang nyata, bukan sekadar janji.
Wallahu’alam bissawab.