Oleh Endah Sefria, S.E
Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar, mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antar umat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025 (radarsampit.jawapos.com, 15/12/2024).
Adapun perayaan Natal yang diselenggarakan oleh Komisi Perempuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Jambi (PGIW) pada Rabu 1 1/12/2024. Perayaan yang bertema “Marilah Sekarang Kita Pergi ke Betlehem” (Lukas 2:15) di GBI MHCC Abadi, Paal Merah, Kota Jambi.
Acara yang dihadiri berbagai tokoh agama, Wali Kota Jambi terpilih periode 2024-2025 Dr. Maulana MKM, masyarakat, dan jemaat gereja tersebut dipenuhi dengan pesan-pesan damai dan persatuan. Tema Natal tahun ini mengajak umat Kristiani untuk merenungkan kembali inti kelahiran Yesus, yang membawa harapan baru bagi umat manusia (rri.co.id, 11/12/2024).
Jelang nataru banyak aktivis HAM dan pejuang liberalisme menyuarakan toleransi yang kebablasan hingga akhirnya bertentangan dengan akidah Islam. Masalahnya banyak kaum muslim terbawa arus dengan euforia menyambut perayaan natal dan tahun baru.
Kaum muslim dicap intoleran jika tidak ikut berpartisipasi dalam perayaan natal dan tahun baru. Yang disayangkan, para peneriak intoleran ini datang dari pejabat negara, kepala daerah hingga kementerian agama yang kurang memahami batasan-batasan syariat.
Kebebasan yang dilandasi oleh sistem liberalisme dengan paham kebebasan beragama ini juga program moderasi beragama makin menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang benar. Kaum muslim sering kali terbentur hingga akhirnya menggadaikan akidahnya dengan tuntutan pekerjaan atau sejenisnya untuk mengucapkan selamat natal dan tahun baru, menggunakan atribut natal, hingga mengikuti agenda keagamaan di gereja-gereja.
Dengan fenomena yang dianggap lumrah ini seharusnya membuat kaum muslim lebih waspada. Karena keimanan kita diuji, terlebih karena adanya alasan tuntutan pekerjaan atau program dari penguasa.
Inilah pentingnya dakwah Islam, mengingatkan umat Islam jangan sampai terjebak dalam kekufuran. Konon peran negara yang harusnya sebagai penjaga akidah kaum muslim malah memfasilitasi kita dalam melakukan kemaksiatan.
Allah Taala berfirman, “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukkulah, agamaku.” (TQS. Al-Kafirun [109]: 1-6).
Islam tidak memiliki satu pun ajaran untuk bersikap intoleran. Jika ada pihak-pihak yang menyatakan umat Islam intoleran, hal itu jelas fitnah dan tudingan yang tidak berdasar. Islam justru sudah mengajarkan dan mengatur perihal toleransi sejak Islam pertama kali datang.
Islam menjadikan para pemimpin dan pejabat Khilafah senantiasa memberikan nasihat takwa sehingga menyuburkan keimanan di tengah-tengah umat. Dengan begitu, umat terkondisikan untuk tetap terikat dengan aturan Islam. Hal ini khususnya dalam momen-momen krusial yang berpotensi membahayakan akidah umat sebagaimana momen Nataru.
Selain itu, Khilafah tetap memberikan toleransi dan kebebasan kepada umat nonmuslim untuk memeluk dan menjalankan agamanya, termasuk merayakan hari besar mereka. Mereka tidak akan di paksa untuk memeluk Islam. Mereka bahkan mendapatkan perlindungan dari Khilafah karena mereka adalah warga yang berstatus ahlu dzimmah, yakni orang nonmuslim yang tunduk di bawah sistem Islam dengan tetap memeluk agamanya. Mereka berkewajiban untuk membayar jizyah dan tunduk kepada sistem Islam.
Wallahualam bissawab.