Oleh Muzaidah (Aktivis Muslimah)
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, Sritex, kembali mengguncang dunia ketenagakerjaan. Ribuan pekerja yang telah mengabdikan diri bertahun-tahun terpaksa kehilangan mata pencaharian. Fenomena ini bukan sekadar kebijakan perusahaan, melainkan juga cerminan dari kebijakan negara yang membebani pekerja alih-alih melindungi mereka.
Bagaimana mungkin negara yang mengklaim berdaulat dan pro-rakyat justru membiarkan iklim usaha yang mendorong PHK massal? Apakah ini bukan bukti nyata bahwa kebijakan ekonomi lebih berpihak kepada segelintir pengusaha dibanding kesejahteraan rakyat pekerja?
Saat Sritex dinyatakan pailit oleh pengadilan, lebih dari 10.000 karyawan diberhentikan. Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Sukoharjo, Sumarno, menyatakan bahwa tim kurator akan mengurus pesangon dan jaminan hari tua para pekerja yang menjadi kewenangan BPJS Ketenagakerjaan. Namun, hingga kini hak-hak mereka tak kunjung cair, dengan alasan kendala administrasi yang berlarut-larut. Ironisnya, yang menjadi korban justru para pekerja yang telah bertahun-tahun mengabdi (cnnindonesia.com, 02/3/2025).
Survei Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia melonjak tajam, terutama di sektor manufaktur. Dalam enam bulan terakhir, jumlah pengangguran dari sektor ini meningkat hingga 5%, dengan mayoritasnya berasal dari perusahaan besar seperti Sritex.
PHK massal ini tak hanya berdampak pada statistik ketenagakerjaan, tetapi juga menciptakan gelombang ketidakstabilan sosial. Ribuan keluarga kehilangan sumber penghasilan utama, sementara harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Di tengah krisis global dan pemulihan ekonomi pascapandemi, kondisi ini semakin menambah beban masyarakat kecil yang sudah lebih dulu terhimpit.
Banyak yang menyalahkan pandemi atau krisis global sebagai penyebab utama PHK massal. Namun, jika ditelaah lebih dalam, akar masalahnya justru terletak pada kebijakan ekonomi negara yang lebih mengutamakan kepentingan kapitalis dibanding kesejahteraan pekerja.
Dalam sistem ekonomi sekuler, kebijakan tenaga kerja cenderung menguntungkan para pengusaha besar. Upah murah, sistem kontrak yang tidak berpihak pada buruh, serta minimnya perlindungan sosial adalah realitas yang terus berulang. Sektor industri tekstil yang selama ini menjadi penyumbang besar bagi perekonomian nasional justru dibiarkan terpuruk tanpa perlindungan yang memadai.
Ironisnya, kebijakan negara justru semakin memperburuk kondisi pekerja dengan berbagai regulasi yang lebih menguntungkan pemodal. Ketika industri besar seperti Sritex akhirnya tumbang, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan tanpa jaminan perlindungan yang jelas.
Dalam pandangan Islam, permasalahan seperti PHK massal ini tidak akan terjadi jika sistem ekonomi yang diterapkan didasarkan pada syariat Islam. Islam menegaskan hubungan antara pengusaha dan pekerja dalam kerangka keadilan dan keseimbangan, di mana hak-hak pekerja harus dijamin dan tidak boleh diabaikan.
Rasulullah bersabda:
“Berilah hak kepada yang berhak mendapatkannya, yakni kepada pekerja, upahnya sebelum kering keringatnya.” (h.r. Ibn Majah)
Dari hadis ini, Islam mengajarkan bahwa upah harus diberikan tepat waktu dan sesuai dengan nilai kerja yang telah dilakukan. Sistem Islam juga melarang segala bentuk eksploitasi tenaga kerja, memastikan kondisi kerja yang manusiawi, serta menjamin hak-hak pekerja tanpa penundaan.
Lebih dari itu, dalam sistem ekonomi Islam, negara tidak boleh hanya menjadi regulator pasif yang berpihak pada pemodal, tetapi harus aktif memastikan kesejahteraan pekerja. Negara bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja, menyediakan pendidikan berkualitas, serta menerapkan kebijakan ekonomi yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, kesejahteraan pekerja dapat terjamin dan kebijakan negara tidak lagi tunduk pada kepentingan kapitalis. PHK massal yang kini menjadi momok di sektor industri tak akan terjadi, karena sistem Islam memastikan ekonomi berjalan secara adil dan berkelanjutan.
Gelombang PHK massal di Sritex adalah bukti nyata kegagalan sistem ekonomi kapitalis dalam melindungi pekerja. Solusi yang ditawarkan dalam sistem ini terbukti hanya menjadi penanganan jangka pendek yang tidak menyentuh akar masalah.
Umat Islam harus mulai menyadari bahwa satu-satunya solusi sejati adalah dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Islam tidak hanya menawarkan kebijakan ekonomi yang adil, tetapi juga memastikan bahwa hak-hak pekerja terjaga dan kesejahteraan mereka dijamin.
Saatnya kita memperjuangkan perubahan menuju sistem yang lebih adil dan berpihak pada seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elit pemilik modal.
Wallahualam bissawab.
Penulis adalah Muzaidah (Aktivis Muslimah)